Stress,
kriminalitas, dan kemiskinan di Jakarta.
APA PENYEBABNYA ?
Daerah
Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta, Jakarta Raya) adalah ibu kota negara
Indonesia. Jakarta merupakan satu-satunya kota di Indonesia yang memiliki
status setingkat provinsi. Jakarta terletak di bagian barat laut Pulau Jawa.
Dahulu pernah dikenal dengan nama Sunda Kelapa (sebelum 1527), Jayakarta
(1527-1619), Batavia, atau Jacatra (1619-1942), dan Djakarta (1942-1972).
Jakarta
memiliki luas sekitar 661,52 km² (lautan : 6.977,5 km²), dengan penduduk
berjumlah 7.552.444 jiwa (2007)[4]. Wilayah metropolitan Jakarta (Jabotabek)
yang berpenduduk sekitar 23 juta jiwa, merupakan metropolitan terbesar di
Indonesia atau urutan keenam dunia.
Jakarta
berlokasi di sebelah utara Pulau Jawa, di muara Ci Liwung, Teluk Jakarta.
Jakarta terletak di dataran rendah pada ketinggian rata-rata 8 meter dpl. Hal
ini mengakibatkan Jakarta sering dilanda banjir. Sebelah selatan Jakarta
merupakan daerah pegunungan dengan curah hujan tinggi. Jakarta dilewati oleh 13
sungai yang semuanya bermuara ke Teluk Jakarta. Sungai yang terpenting ialah Ci
Liwung, yang membelah kota menjadi dua. Sebelah timur dan selatan Jakarta
berbatasan dengan provinsi Jawa Barat dan di sebelah barat berbatasan dengan
provinsi Banten.
Kepulauan
Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di Teluk Jakarta.
Sekitar 105 pulau terletak sejauh 45 km (28 mil) sebelah utara kota.
Transportasi
Peta transportasi kota Jakarta
Di DKI
Jakarta, tersedia jaringan jalan raya dan jalan tol yang melayani seluruh kota,
namun perkembangan jumlah mobil dengan jumlah jalan sangatlah timpang (5-10%
dengan 4-5%).
Menurut data
dari Dinas Perhubungan DKI, tercatat 46 kawasan dengan 100 titik simpang rawan
macet di Jakarta. Definisi rawan macet adalah arus tidak stabil, kecepatan
rendah serta antrean panjang. Selain oleh warga Jakarta, kemacetan juga
diperparah oleh para pelaju dari kota-kota di sekitar Jakarta seperti Depok,
Bekasi, Tangerang, dan Bogor yang bekerja di Jakarta. Untuk di dalam kota,
kemacetan dapat dilihat di Jalan Sudirman, Jalan Thamrin, Jalan Rasuna Said,
dan Jalan Gatot Subroto terutama pada jam-jam pulang kantor.
Untuk
melayani mobilitas penduduk Jakarta, pemerintah menyediakan sarana bus PPD.
Selain itu terdapat pula bus kota yang dikelola oleh pihak swasta, seperti
Mayasari Bhakti, Metro Mini, Kopaja, dan Bianglala. Bus-bus ini melayani rute
yang menghubungkan terminal-terminal dalam kota, antara lain Pulogadung,
Kampung Rambutan, Blok M, Kalideres, Grogol, Tanjung Priok, Lebak Bulus, dan
Kampung Melayu.
Untuk
angkutan lingkungan, terdapat angkutan kota seperti Mikrolet dan KWK, dengan
rute dari terminal ke lingkungan sekitar terminal. Selain itu ada pula ojek,
bajaj, dan bemo untuk angkutan jarak pendek. Tidak seperti wilayah lainnya di
Jakarta yang menggunakan sepeda motor, di kawasan Tanjung Priok dan Jakarta
Kota, pengendara ojek menggunakan sepeda ontel. Angkutan becak masih banyak
dijumpai di wilayah pinggiran Jakarta seperti di Bekasi, Tangerang, dan Depok.
Transjakarta
Jalur Bus Transjakarta (Busway).
Sejak tahun
2004, Pemerintah Daerah DKI Jakarta telah menghadirkan layanan transportasi
umum yang dikenal dengan TransJakarta. Layanan ini menggunakan bus AC dan halte
yang berada di jalur khusus. Saat ini ada delapan koridor Transjakarta yang
telah beroperasi, yaitu :
Koridor 1
Blok M – Stasiun Kota
Koridor 2
Pulogadung – Harmoni
Koridor 3
Kalideres – Pasar Baru
Koridor 4
Pulogadung – Dukuh Atas
Koridor 5
Kampung Melayu – Ancol
Koridor 6
Ragunan – Latuharhary
Koridor 7
Kampung Rambutan – Kampung Melayu
Koridor 8
Lebak Bulus – Harmoni
Koridor 9
Pinang Ranti – Pluit (belum beroperasi)
Koridor 10
Cililitan – Tanjung Priok (belum beroperasi)
Kereta Listrik
Kereta api Listrik (KRL) Jabotabek
Selain bus
kota, angkutan kota, dan bus Transjakarta, sarana transportasi andalan
masyarakat Jakarta adalah kereta listrik atau yang biasa dikenal dengan KRL
Jabotabek. Kereta listrik ini beroperasi dari pagi hari hingga malam hari,
melayani masyrakat penglaju yang bertempat tinggal di seputaran Jabotabek. Ada
beberapa jalur kereta listrik, yakni
Jalur
Jakarta Kota – Bogor, lewat Gambir, Manggarai, Pasar Minggu, dan Depok
Jalur
Jakarta Kota – Bekasi/Cikarang, lewat Pasar Senen, Jatinegara, dan Cakung
Jalur
Jakarta Kota – Tangerang, lewat Angke, Cengkareng, dan Poris.
Jalur
Jakarta Kota – Serpong, lewat Angke, Tanah Abang, dan Kebayoran Lama.
Jalur Tanah
Abang – Bogor, lewat Sudirman, Manggarai, Pasar Minggu, dan Depok.
Jalur Tanah
Abang – Bekasi, lewat Sudirman, Manggarai, Jatinegara, dan Cakung.
Jalur
Tanjung Priok – Bekasi, lewat Pasar Senen, Jatinegara, dan Cakung.
Jalur
Manggarai – Serpong, lewat Sudirman, Tanah Abang, Kebayoran Lama.
Jalur
Lingkar, lewat Jakarta Kota, Pasar Senen, Jatinegara, Manggarai, dan Tanah
Abang
Luar kota
Untuk ke
kota-kota di Pulau Jawa, bisa dicapai dari Jakarta dengan jaringan jalan dan
beberapa ruas jalan tol. Jalan tol terbaru adalah Jalan Tol Cipularang yang
mempersingkat waktu tempuh Jakarta-Bandung menjadi sekitar 1,5 jam. Selain itu
juga tersedia layanan kereta api yang berangkat dari enam stasiun
pemberangkatan di Jakarta. Untuk ke pulau Sumatera, tersedia ruas jalan tol
Jakarta-Merak yang kemudian dilanjutkan dengan layanan penyeberangan dari
Pelabuhan Merak ke Bakauheni. Untuk ke luar pulau dan luar negeri, Jakarta
memiliki satu pelabuhan laut di Tanjung Priok dan dua bandar udara.
Bandara yang terdapat di Jakarta
adalah:
Bandara
Internasional Soekarno Hatta, Cengkareng Banten yang berfungsi sebagai pintu
masuk utama ke Indonesia. Dari/ke bandara Soekarno Hatta, tersedia bus Damri
yang mengantarkan penumpang dari/ke Gambir, Rawamangun, Blok M, Pasar Minggu,
dan Kampung Rambutan.
Bandara
Halim Perdanakusuma yang banyak berfungsi untuk melayani penerbangan
kenegaraan.
Untuk
mendukung laju mobilitas penduduk, Jakarta membangun sejumlah jalan tol yaitu
Tol Dalam Kota, Tol Lingkar Luar, Tol Bandara, serta ruas tol Jakarta-Cikampek,
Jakarta-Bogor-Ciawi, dan Jakarta-Merak, yang menghubungkan Jakarta dengan
kota-kota di sekitarnya. Selain itu, juga sedang dibangun ruas tol dalam kota
yang menghubungkan Bekasi Utara-Cawang-Kampung Melayu. Pemerintah juga
berencana membangun Tol Lingkar Luar tahap kedua yang melingkar dari Bandara
Soekarno Hatta-Tangerang-Serpong-Cinere-Cimanggis-Cibitung-Tanjung Priok.
Pemda juga
sedang membangun dua jalur monorel yaitu Green Line dan Blue Line, namun
pembangunan monorel ini tidak berjalan lancar dan sering terhenti akibat
berbagai masalah yang masih dihadapi konsorsium pembangunnya, PT Jakarta
Monorail. Proyek ini diberi nama Monorel Jakarta. Pemerintah Daerah DKI Jakarta
juga tengah mempersiapkan pembangunan kereta bawah tanah (subway) yang dananya
diperoleh dari pinjaman lunak negara Jepang. Untuk lintasan kereta api,
pemerintah sedang menyiapkan double-double track pada jalur lintasan kereta api
Manggarai-Cikarang. Selain itu juga, saat ini sedang direncanakan untuk
membangun jalur kereta api dari Manggarai menuju Bandara Internasional
Soekarno-Hatta di Cengkareng.
Kependudukan
|
|
Jumlah
penduduk Jakarta sekitar 7.512.323 (2006), namun pada siang hari, angka
tersebut akan bertambah seiring datangnya para pekerja dari kota satelit
seperti Bekasi, Tangerang, Bogor, dan Depok. Kota/kabupaten yang paling padat
penduduknya adalah Jakarta Timur dengan 2.131.341 penduduk, sementara Kepulauan
Seribu adalah kabupaten dengan paling sedikit penduduk, yaitu 19.545 jiwa.
Etnis
Berdasarkan
sensus penduduk tahun 1961, tercatat bahwa penduduk Jakarta berjumlah 2,9 juta
yang terdiri dari orang Sunda sebanyak 32,85%, orang Jawa-Madura (25,4%),
Betawi (22,9%), Tionghoa (10,1%), Minangkabau (2,1%), Sumatera Selatan (2,1%),
Batak (1,0%), Sulawesi Utara (0,7%), Melayu (0,7%), Sulawesi Selatan (0,6%),
Maluku dan Irian (0,4%), Aceh (0,2%), Banjar (0,2%), Nusa Tenggara Timur
(0,2%), Bali (0,1%), dan keturunan asing lainnya (0,6%).[16]
Jumlah
penduduk dan komposisi etnis di Jakarta berubah dari tahun ke tahun.
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, tercatat bahwa setidaknya terdapat
tujuh etnis besar yang mendiami Jakarta. Suku Jawa merupakan etnis terbesar
dengan populasi 35,16% penduduk kota. Populasi orang Jawa melebihi suku Betawi
yang terhitung sebagai penduduk asli Jakarta. Orang Jawa banyak yang berprofesi
sebagai pegawai negeri, buruh pabrik, atau pembantu rumah tangga. Etnis Betawi
berjumlah 27,65% dari penduduk kota. Mereka pada umumnya berprofesi di sektor
informal, seperti pengendara ojek, calo tanah, atau pedagang asongan.
Pembangunan Jakarta yang cukup pesat sejak awal tahun 1970-an, telah banyak menggusur
etnis Betawi ke pinggiran kota. Tanah-tanah milik orang Betawi di daerah
Kemayoran, Senayan, Kuningan, dan Tanah Abang, kini telah terjual untuk
pembangunan sentral-sentral bisnis.
Disamping
orang Jawa dan Betawi, orang Tionghoa yang telah hadir sejak abad ke-17, juga
menjadi salah satu etnis besar di Jakarta. Mereka biasa tinggal mengelompok di
daerah-daerah pemukiman mereka sendiri, yang biasa dikenal dengan istilah
Pecinan. Pecinan atau kampung Cina dapat dijumpai di Glodok, Pinangsia, dan Jatinegara.
Namun kini banyak perumahan-perumahan baru yang mayoritas dihuni oleh orang
Tionghoa, seperti perumahan di wilayah Kelapa Gading, Pluit, dan Sunter. Orang
Tionghoa umumnya berprofesi sebagai pengusaha. Banyak diantara mereka yang
menjadi pengusaha terkemuka, menjadi pemilik perusahaan manufaktur, perbankan,
dan perdagangan ekspor-impor. Disamping etnis Tionghoa, etnis Minangkabau juga
banyak yang berprofesi sebagai pedagang. Di pasar-pasar tradisional kota
Jakarta, perdagangan grosir dan eceran banyak dikuasai oleh orang Minang.
Disamping itu pula, banyak orang Minang yang sukses sebagai profesional,
dokter, wartawan, dosen, bankir, dan ahli hukum.
Komposisi etnis kota Jakarta
Etnis
|
Persentase
|
Jawa
|
35,16%
|
Betawi
|
27,65%
|
Sunda
|
15,27%
|
Tionghoa
|
5,53%
|
Batak
|
3,61%
|
Minangkabau
|
3,18%
|
Melayu
|
1,62%
|
Bugis
|
0,59%
|
Madura
|
0,57%
|
Banten
|
0,25%
|
Banjar
|
0,10%
|
*data
berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2000
Banjir
Pembangunan
tanpa kendali di wilayah hilir, penyimpangan peruntukan lahan kota, dan
penurunan tanah akibat eksploitasi air oleh industri, menyebabkan turunnya
kapasitas penyaluran air sistem sungai, yang menyebabkan terjadinya banjir
besar di Jakarta.
Untuk
memperbaiki keadaan, Jakarta membangun dua banjir kanal, yaitu Banjir Kanal
Timur dan Banjir Kanal Barat. Banjir Kanal Timur mengalihkan air dari kali
Cipinang ke arah timur, melalui daerah Pondok Bambu, Pondok Kopi, Cakung,
sampai Cilincing. Sedangkan Banjir Kanal Barat yang telah dibangun sejak zaman kolonial
Belanda, mengaliri air melalui Karet, Tanahabang, sampai Angke. Selain itu
Jakarta juga memiliki dua drainase, yaitu Cakung Drain dan Cengkareng Drain.
LALU, APA PENYEBAB STRESS,
KRIMINALITAS, DAN KEMISKINAN DI JAKARTA ?
Kehidupan
kaum muda yang hidup di perkotaan seperti Jakarta saat ini makin rentan
terhadap stres dan beresiko terserang berbagai penyakit seperti maag, jantung,
pembuluh darah, dan penyakit berbahaya lainnya.
Tingkat
stres hidup di perkotaan itu sangat tinggi, stres itu ada dua, stres pikiran
dan stres tubuh.
Tata Ruang di Jakarta juga menjadi
pemicu stress.
JAKARTA,
KOMPAS.com – Sebagai kota metropolitan, Jakarta memiliki banyak masalah.
Sebutlah banjir di musim hujan, krisis air tanah yang makin mengkhawatirkan,
polusi udara yang tinggi, kemacetan lalu lintas, serta melonjaknya kaum urban
di Jakarta. Dengan segala masalah ini, warga Jakarta lebih rentan terkena
stres.
Stres
menjadi salah satu gangguan kejiwaan yang sering dialami warga Jakarta.
Berdasarkan riset dari Strategic Indonesia yang diungkapkan dalam talkshow “Carut
Marut Kota Jakarta, Picu Tingkat Stres“, dari total jumlah pasien puskesmas
se-Jakarta tahun 2007, warga Jakarta yang mendapat perawatan akibat stres
mencapai sekitar 1,4 juta jiwa.
“Gejala
tersebut bervariasi dari stres hingga berkembang jadi gangguan kejiwaan ringan
sampai berat,” ujar Dr Ratna Mardiyati, SpKj, direktur Rumah Sakit Jiwa
Soeharto Heerdjan yang menjadi pembicara dalam talkshow, Kamis (1/10).
Bila dirunut
lebih jauh, penyebab stres ini antara lain berakar pada carut marutnya tata
ruang di Jakarta. Masalah lingkungan dan tata ruang kota yang tidak terbenahi
memperburuk tingkat stres.
Menurut
Firdaus Cahyadi, pengamat lingkungan hidup dari Satu Dunia, tata ruang kota
Jakarta yang diatur dalam PerDa Jakarta No. 6 Tahun 1999 menjadikan Jakarta
sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dan pusat pemerintahan. Segala aktivitas
ekonomi menuntut pemerintah untuk terus membangun kota Jakarta sebagai kawasan
komersial.
“Berbagai
kawasan komersial dan pusat perbelanjaan dibangun tanpa mempertimbangkan
keseimbangan tata ruang kota Jakarta. Kawasan resapan air dan ruang terbuka
hijau semakin sempit,” papar Firdaus dalam acara yang sama. “Rencana Induk
Jakarta 1965-1985 yang memperuntukkan kawasan seluas 729 hektare sebagai
lapangan hijau, kini diubah menjadi pusat perbelanjaan dan perkantoran di
daerah Senayan.”
Akibat dari
pembangunan tersebut, unsur-unsur penghasil oksigen berkurang, sehingga
menjadikan masyarakat lebih sensitif dan mudah emosional. Masyarakat juga tidak
mendapatkan ruang untuk bersantai dan bersosial, sehingga tak mengherankan
gangguan kejiwaan makin meningkat.
0 komentar:
Posting Komentar